"Waktu bengi krungu kejadian, aku nontok kondisi pantai terus tak foto, gelombang gak sampe nglewati pagar hotel tak pikir berarti gelombang gak gede, mari subuh wis akeh tamu sing langsung check out"
"Ketika malam hari mendengar ada kejadian aku lihat kondisi pantai, terus aku foto, gelombang gak sampai lewat pagar Hotel Marbella Convention & Spa Anyer. Aku pikir gelombangnya nggak besar. Selesai subuh ternyata banyak tamu yang langsung check out".
Demikian pesan WhatsApp (WA) dari sahabat Rudiansyah pada hari Senin (24/12/2018). Matahari pagi masih belum menampakkan sinarnya. Surabaya terliput mendung, tentu saja saya sangat terkejut. Berarti saat kejadian Cak Mad -sapaan akrabnya, sedang berada di lokasi kejadian tsunami.
"Waktu itu posisiku di kamar lantai 7 seperti titik foto google earth yang sudah terkirim" tulis dia menjelaskan. Sabtu sore kami sekeluarga berkumpul di area kolam hotel yang berada sekitar 2 meter diatas garis pasir pantai. Menjelang mahgrib terdengar suara gemuruh. Istri dan adik ipar saya bertanya suara apa itu? Saya menjawab : sepertinya suara dari krakatau karena saat itu di puncak anak krakatau terlihat ada semburan asap tebal hitam (seperti yang sering terlihat di puncak Semeru atau Bromo).
Pukul 23.00 sepupu saya telepon dia melihat TV hotel kalau ada dugaan terjadi tsunami di Selat Sunda. Saya melongok keluar. Seputar kolam hotel tidak ada tanda-tanda bekas ombak bahkan tenda PKL yang terbuat dari terpal biru juga masih berdiri. Adik terkecil saya sudah panik mulai semalam, dan mengajak untuk segera kembali ke Jakarta. Seharusnya Rudi bermalam selama dua hari di Anyer. Tapi dengan adanya kejadian tersebut mereka mengurungkan niatnya. Rudiansyah segera berkemas meninggalkan lokasi.
Setibanya di rumah Pamulang, Jakarta kami mengikuti berita di TV ternyata apa yang sebenarnya terjadi, dampak tsunami yang terjadi begitu berat. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.
Hotel Marbela Anyer menjelang subuh (Rudiansyah) |
Rudiansyah merupakan salah seorang pengurus Real Estate Indonesia Jawa Timur, dan sangat akrab dengan kawan-kawan jurnalis di Surabaya. Cerita Rudiansyah saya posting di Instagram. Saya teruskan ke WA kawan-kawan, termasuk WA Grup "SahabatManaya Umrah+AlQuds".
Tentu saja sebagai orang yang tidak terkena musibah saya memperlihatkan sikap simpati dan empati. Teman-teman semua mendoakannya. "Alhamdulillah Anda selamat --lolos, dari musibah" ujar kawan-kawan Rudi. "Oalaa, Cak Mad sampean blai selamet" Blai selamet istilah dalam bahasa Jawa. Artinya, orang yang sedang berada di tengah musibah, tetapi terhindar jiwanya.
Abdul Adzim Irsad, Dosen Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Malang telepon saya. Dari Abu Dhabi -Ibu Kota Uni Emirat Arab, ustadz Adzim menanyakan nasib Rudiansyah dan tsunami yang tengah terjadi. Menurut Ustadz Adzim, media massa di Abu Dhabi menjadikan berita utama atas musibah yang menerjang Provinsi Banten dan Provinsi Lampung pada Sabtu (22/12/2018) malam itu.
Surat kabar Al Khaleej memberitakan bahwa Syekh Kholifah bin Zaid Ali Nahyan selaku pemimpin tertinggi Uni Emirat Arab menyatakan rasa prihatin dan duka cita kepada pemerintah Indonesia. Ustadz Abdul Adzim Irsad bersama keluarganya singgah Abu Dhabi setelah melaksanakan Ibadah Umrah ikut program PT Manaya Indonesia Tour and Travel.
Tentu saja sebagai orang yang tidak terkena musibah saya memperlihatkan sikap simpati dan empati. Teman-teman semua mendoakannya. "Alhamdulillah Anda selamat --lolos, dari musibah" ujar kawan-kawan Rudi. "Oalaa, Cak Mad sampean blai selamet" Blai selamet istilah dalam bahasa Jawa. Artinya, orang yang sedang berada di tengah musibah, tetapi terhindar jiwanya.
Abdul Adzim Irsad, Dosen Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Malang telepon saya. Dari Abu Dhabi -Ibu Kota Uni Emirat Arab, ustadz Adzim menanyakan nasib Rudiansyah dan tsunami yang tengah terjadi. Menurut Ustadz Adzim, media massa di Abu Dhabi menjadikan berita utama atas musibah yang menerjang Provinsi Banten dan Provinsi Lampung pada Sabtu (22/12/2018) malam itu.
Surat kabar Al Khaleej memberitakan bahwa Syekh Kholifah bin Zaid Ali Nahyan selaku pemimpin tertinggi Uni Emirat Arab menyatakan rasa prihatin dan duka cita kepada pemerintah Indonesia. Ustadz Abdul Adzim Irsad bersama keluarganya singgah Abu Dhabi setelah melaksanakan Ibadah Umrah ikut program PT Manaya Indonesia Tour and Travel.
Hotel Marbela Anyer difoto jelang siang (Rudiansyah) |
Pria yang sedang menunggu wisuda S3-nya ini kenal Rudiansyah ketika bersama Juliantono Hadi, Kepala Sekolah Dr. Soetomo Surabaya satu rombongan ziarah ke Al Aqsha -Palestina, bulan Maret 2018 lalu.
Palu Membuat Pilu
Peristiwa serupa juga menimpa kawan saya, Alfred Lande -mantan Redaktur Pelaksana Harian Surya. Ketika terjadi gempa melanda Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018), dia berada di Palu. Sejak kejadian saya mencari tahu keberadaan dia. Setelah mendapati nomor selulernya, saya pun kontak. Begini cerita ringkasnya:
Ale -panggilan akrabnya, berada di kamar 227 Swiss-Belhotel Palu. Hotel bintang 4 ini terletak di bibir pantai. Ale mengikuti kegiatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilaksanakan di kota Palu, 28 September sampai 1 Oktober 2018. Pesertanya meliputi wilayah Indonesia Timur.
Waktu itu pukul 18.00 Wita. Sebagai peserta sekaligus wartawan, Ale mempersiapkan alat-alat liputan seperti tustel, laptop, dan lainnya. Tiga menit kemudian, bencana itu datang. Hotel bergetar cukup kuat. Semua peralatan dalam ruangan jatuh berantakan. Secepat itu pula Ale melompat ke luar ruangan dan berlari di lorong hotel yang gelap-gulita.
Tak sampai satu menit Ale tiba di halaman hotel. Para tamu dan karyawan hotel tampak berlarian menyelamatkan diri. Mendadak ombak menghantam hotel. Mereka berteriak, "Lari..lari..tsunami, cepat..cepat" cerita Ale dalam telepon.
Sambil berlari menyelamatkan diri, suara tangisan dan pengharapan kepada Sang Pencipta terus terdengar. Sambil berlalri ucapan "Allahu Akbar, Tuhan Yesus tolong kami, dan kata-kata penyerahan diri lainnya terus bergema.
Seorang ibu yang tidak bisa lari sempat dia tarik agar ikut menyelamatkan diri. Ale menerobos reruntuhan rumah di depan hotel dan terus lari ke arah dataran tinggi Donggala Kodi. Pagi hari setelahnya, ketika dia kembali turun ditemukan ratusan jenazah sepanjang pinggir pantai dari hotel hingga Pantai Talise.
"Jika saya terlambat lima detik saja atau berlari ke arah sebelah kiri hotel, mungkin nasib saya akan terjadi seperti ratusan korban yang bergelimpangan pagi itu," tutur Ale sambil mengingat jika saat itu dia berlari tanpa alas kaki.
Logat bicara Alfred Lande "Indonesia bagian Timur" banget. Terasa sangat kental. Jujur saja ketika Ale bicara dalam telepon itu saya sempat menitikkan air mata. Trauma Palu membuatnya teramat pilu!
Sidik Jari
Hidup dan mati mirip sidik jari. Setiap orang jatahnya beda-beda. Ketentuan mati di mana dan dengan cara apa sungguh tak bisa diraba. Hari ini mungkin hanya berlaku pada dirinya, namun tidak berlaku pada orang lain.
Setiap orang adalah unik. Setiap orang punya jalan sendiri-sendiri. Tuhan Maha Menentukan.
Pengalaman dua kawan berada di tengah musibah tsunami pasti menyentak sanubari. Semuanya seperti tersadar, begitu kecilnya keberadaan manusia dalam kondisi dan kekalutan seperti itu. Dengan kata lain, sudah siap atau belum kita -manusia, menerima musibah (kematian).
Sesekali, mungkin kita perlu intropeksi. Contoh ringan saja. Kok kita lebih mematuhi kewajiban pemerintaah ketimbang Yang Maha Memerintah.
Buktinya, demi pemerintah saja kita rela membayar pajak. Pajak tontonan, pajak makanan, atau pajak kendaraan bermotor. Lha, giliran untuk Yang Maha Memerintah, kita ogah-ogahan bersedekah 10 persen. Yah, barangkali otak kiri kita terlalu kuat. Sukanya hitung-hitungan.
Palu Membuat Pilu
Peristiwa serupa juga menimpa kawan saya, Alfred Lande -mantan Redaktur Pelaksana Harian Surya. Ketika terjadi gempa melanda Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018), dia berada di Palu. Sejak kejadian saya mencari tahu keberadaan dia. Setelah mendapati nomor selulernya, saya pun kontak. Begini cerita ringkasnya:
Ale -panggilan akrabnya, berada di kamar 227 Swiss-Belhotel Palu. Hotel bintang 4 ini terletak di bibir pantai. Ale mengikuti kegiatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilaksanakan di kota Palu, 28 September sampai 1 Oktober 2018. Pesertanya meliputi wilayah Indonesia Timur.
Waktu itu pukul 18.00 Wita. Sebagai peserta sekaligus wartawan, Ale mempersiapkan alat-alat liputan seperti tustel, laptop, dan lainnya. Tiga menit kemudian, bencana itu datang. Hotel bergetar cukup kuat. Semua peralatan dalam ruangan jatuh berantakan. Secepat itu pula Ale melompat ke luar ruangan dan berlari di lorong hotel yang gelap-gulita.
Tak sampai satu menit Ale tiba di halaman hotel. Para tamu dan karyawan hotel tampak berlarian menyelamatkan diri. Mendadak ombak menghantam hotel. Mereka berteriak, "Lari..lari..tsunami, cepat..cepat" cerita Ale dalam telepon.
Sambil berlari menyelamatkan diri, suara tangisan dan pengharapan kepada Sang Pencipta terus terdengar. Sambil berlalri ucapan "Allahu Akbar, Tuhan Yesus tolong kami, dan kata-kata penyerahan diri lainnya terus bergema.
Seorang ibu yang tidak bisa lari sempat dia tarik agar ikut menyelamatkan diri. Ale menerobos reruntuhan rumah di depan hotel dan terus lari ke arah dataran tinggi Donggala Kodi. Pagi hari setelahnya, ketika dia kembali turun ditemukan ratusan jenazah sepanjang pinggir pantai dari hotel hingga Pantai Talise.
"Jika saya terlambat lima detik saja atau berlari ke arah sebelah kiri hotel, mungkin nasib saya akan terjadi seperti ratusan korban yang bergelimpangan pagi itu," tutur Ale sambil mengingat jika saat itu dia berlari tanpa alas kaki.
Logat bicara Alfred Lande "Indonesia bagian Timur" banget. Terasa sangat kental. Jujur saja ketika Ale bicara dalam telepon itu saya sempat menitikkan air mata. Trauma Palu membuatnya teramat pilu!
Sidik Jari
Hidup dan mati mirip sidik jari. Setiap orang jatahnya beda-beda. Ketentuan mati di mana dan dengan cara apa sungguh tak bisa diraba. Hari ini mungkin hanya berlaku pada dirinya, namun tidak berlaku pada orang lain.
Setiap orang adalah unik. Setiap orang punya jalan sendiri-sendiri. Tuhan Maha Menentukan.
Pengalaman dua kawan berada di tengah musibah tsunami pasti menyentak sanubari. Semuanya seperti tersadar, begitu kecilnya keberadaan manusia dalam kondisi dan kekalutan seperti itu. Dengan kata lain, sudah siap atau belum kita -manusia, menerima musibah (kematian).
Sesekali, mungkin kita perlu intropeksi. Contoh ringan saja. Kok kita lebih mematuhi kewajiban pemerintaah ketimbang Yang Maha Memerintah.
Buktinya, demi pemerintah saja kita rela membayar pajak. Pajak tontonan, pajak makanan, atau pajak kendaraan bermotor. Lha, giliran untuk Yang Maha Memerintah, kita ogah-ogahan bersedekah 10 persen. Yah, barangkali otak kiri kita terlalu kuat. Sukanya hitung-hitungan.
Rudiansyah (kanan) bersama penulis di Yerusalem, Palestina -Maret 2018 (Dok Pri) |
Penulis buku laris Hidup Sesudah Mati, H. Bey Arifin mengatakan, manusia dengan akal dan pikirannya adalah makhluk terbaik. Ia dapat membedakan antara baik dan buruk, yang berguna dan merusak. Dapat membedakan antara yang baik, yang lebih baik, dan paling baik.
Lalu, dia juga bisa membedakan yang jelek, lebih jelek, dan paling jelek. Seterusnya, antara berguna, lebih berguna, dan yang paling berguna. Berpengertian dan berkesadaran.
Dengan kata lain, seharusnya kita -manusia, hanya melakukan perbuatan baik dan berguna saja. Tetapi sejarah peradapan manusia telah menunjukkan bahwa dari dahulu sampai sekarang bukan hanya melakukan perbuatan-perbuatan baik dan berguna, tetapi juga sering melakukan perbuatan yang jelek dan merusak hidupnya di dunia.
Jika dibuatkan perbandingan grafik sejarah hidup manusia dengan garis naik menunjukkan bertambah baik dan garis menurun bertambak jelek, maka akan terlihat garis naik amat sedikit. Sedangkan garis turun terlalu banyak. Pengertiannya, garis naik amat sukar, sedang garis turun amat gampang.
Kepada semua kawan -terutama Cak Mad dan Bung Ale, saya doakan semoga Tuhan senantiasa membimbing kita. Sekalipun sidik jari kita berbeda, ayo saling berbagi kebaikan.
Lalu, dia juga bisa membedakan yang jelek, lebih jelek, dan paling jelek. Seterusnya, antara berguna, lebih berguna, dan yang paling berguna. Berpengertian dan berkesadaran.
Dengan kata lain, seharusnya kita -manusia, hanya melakukan perbuatan baik dan berguna saja. Tetapi sejarah peradapan manusia telah menunjukkan bahwa dari dahulu sampai sekarang bukan hanya melakukan perbuatan-perbuatan baik dan berguna, tetapi juga sering melakukan perbuatan yang jelek dan merusak hidupnya di dunia.
Jika dibuatkan perbandingan grafik sejarah hidup manusia dengan garis naik menunjukkan bertambah baik dan garis menurun bertambak jelek, maka akan terlihat garis naik amat sedikit. Sedangkan garis turun terlalu banyak. Pengertiannya, garis naik amat sukar, sedang garis turun amat gampang.
Kepada semua kawan -terutama Cak Mad dan Bung Ale, saya doakan semoga Tuhan senantiasa membimbing kita. Sekalipun sidik jari kita berbeda, ayo saling berbagi kebaikan.
0 comments :
Posting Komentar