Nur Rahmaan Hasyim memotret parcel Lebaran (DokPri)
|
Teman saya masih muda. Lulusan Strata 1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Rumah tinggalnya tak berjauhan dari kediaman saya.
Lulus kuliah bekerja di Bank Jawa Barat Cabang Jawa Timur. Lalu ia tinggalkan. Ikut tes PNS di Komisi Pemilihan Umum. Alhamdulillah lolos, dan ditempatkan di KPUD Kalimantan Utara. Sebuah wilayah perbatasan. Antara Negara Indonesia dengan Malaysia. Saya kira, pilihan ini sudah dipikirnya masak-masak. Sebuah pengabdian untuk Nusa dan Bangsa.
Dia sepantaran anak saya. Pada saat Sekolah Dasar pernah sakit. Orangtuanya menerima ikhlas cobaan itu. Sampai opname di Ruang Syaraf RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Tangan dan kakinya sempat diikat. Lantaran bersikeras ingin pulang.
Ujian akhir SD sudah di ambang pintu. Keluarganya minta bantuan saya memotret, untuk keperluan administrasi sekolah. Kedua orangtua tak mungkin membawa anak kecil "pemberontak" ini ke studio foto. Sejak itu dia gemar kamera. Kemudian sama-sama hobi fotografi. Kami jadi dekat. Berkali-kalia tukar pendapat. Terkadang saya selingi candaan. Untuk memompa semangat. Agar dia termasuk insan yang kuat.
Akhir tahun 2018. Malam hari, persis menjelang libur Hari Natal dia mengirim pesan WhatApps. Membahas macam-macam hal. Termasuk soal Pemilu. Pemilihan Presiden atau Pilpres. Dia 'orang dalam' KPU mestinya lebih tahu dari saya. Sebelum berakhir saya selipkan pesan. Pesan normatif. Tentang kebaikan.
Men..! -namanya Nur Rahmaan Hasyim, tapi saya biasa memanggil: Men). Situasi seperti sekarang perbanyaklah doa. Saya memberi istilah: "doa menyalip di terowongan".
Zaman sekarang. Terlebih jelang Pilpres banyak orang ribut. Gaduh atau kisruh. Tentu saja soal politik. Nah, disaat seperti itu, cepat-cepatlah kita berdoa. Untuk diri sendiri dan keluarga. Pada saat mereka kisruh ruang berdoa sedang kosong. Kita masuk. Menyalip di terowongan.
Dahulu, semasa kecil. Ada permainan. Dua anak saling berhadapan. Masing-masing telapak tangan dipertemukan, membentuk semacam terowongan. Anak-anak lainnya berbaris. Berjalan melewati dua tangan tadi. Seolah-olah menerobos terowongan. Mereka lantas bernyanyi riang. Begini syairnya:
Pada saat berakhirnya lagu tersebut, dua anak yang membentangkan tangan tadi menangkap peserta barisan. Suka-suka dia, hendak menangkap siapa. Yang terkena, giliran dia menjadi gawangnya.
Saya mengibaratkan dua anak yang mengangkat tangan itu sebagai kelompok "pembagi rezeki". Sementara itu barisan anak yang lewat merupakan "pengumpan doa". Doa yang menyalip atau lewat di terowongan, kapan saja bisa tertangkap. Alias terkabulkan.
Iblis pun tertawa
Mendekati hari H, seperti semua tahu terjadi perang kata. Perang data yang -Masya Allah disertai cacian. Saling menyerang. Bertubi-tubi. Bertiup seperti angin kencang. Pesan antar WA, twitter, Facebook, semakin seru. Media sosial berkicau tiada henti. Pilihannya. Jagoannya. Kandidatnya. Bukan hanya harus menang. Tapi wajib menang.
Para pendukung Capres dan Cawapres sibuk. Mentalitas mereka tak ubahnya seperti sebuah mesin. Tak henti-hentinya memproduksi kebohongan. Setiap saat menjadi amunisi perang. Oper-operan dari gadget satu pindah ke gadget lain. Tak ada tersirat sedikit tentang dosa.
Penanggung jawab Majalah "Basis" Yogyakarta, Sindhunata, menulis bohong memang mudah muncul, apalagi dalam situasi politik yang kacau. Bohong sudah menjadi normalitasnya. Bahkan, tulis Romo Sindhu, tak seorang pun menganggap politik bisa bertanggung jawab terhadap kebenaran.
Maklum politik bukan untuk mengungkap kenyataan. Tetapi untuk mengubah kenyataan. Untuk itu tak ada yang efisien selain kebohongan. Tak heran, meski diliputi keraguan, pemilih tetap menganggap politikus panutannya sebagai kesungguhannya. Sementara si politikus pantang menyerah memperjuangkan agenda kebohongan.
Kalau ada jargon, kita beda pilihan namun tetap bersaudara, hanya basa-basi. Tidak lebih tidak kurang, sekadar manis di bibir. Yang semula netral, akhirnya batal. Yang tadinya non partisan, ujung-ujungnya ikutan. Dugaan saya tak meleset. Persis seperti apa yang pernah sampaikan kepada teman muda saya.
Lulus kuliah bekerja di Bank Jawa Barat Cabang Jawa Timur. Lalu ia tinggalkan. Ikut tes PNS di Komisi Pemilihan Umum. Alhamdulillah lolos, dan ditempatkan di KPUD Kalimantan Utara. Sebuah wilayah perbatasan. Antara Negara Indonesia dengan Malaysia. Saya kira, pilihan ini sudah dipikirnya masak-masak. Sebuah pengabdian untuk Nusa dan Bangsa.
Dia sepantaran anak saya. Pada saat Sekolah Dasar pernah sakit. Orangtuanya menerima ikhlas cobaan itu. Sampai opname di Ruang Syaraf RSU Dr. Soetomo, Surabaya. Tangan dan kakinya sempat diikat. Lantaran bersikeras ingin pulang.
Ujian akhir SD sudah di ambang pintu. Keluarganya minta bantuan saya memotret, untuk keperluan administrasi sekolah. Kedua orangtua tak mungkin membawa anak kecil "pemberontak" ini ke studio foto. Sejak itu dia gemar kamera. Kemudian sama-sama hobi fotografi. Kami jadi dekat. Berkali-kalia tukar pendapat. Terkadang saya selingi candaan. Untuk memompa semangat. Agar dia termasuk insan yang kuat.
Akhir tahun 2018. Malam hari, persis menjelang libur Hari Natal dia mengirim pesan WhatApps. Membahas macam-macam hal. Termasuk soal Pemilu. Pemilihan Presiden atau Pilpres. Dia 'orang dalam' KPU mestinya lebih tahu dari saya. Sebelum berakhir saya selipkan pesan. Pesan normatif. Tentang kebaikan.
Men..! -namanya Nur Rahmaan Hasyim, tapi saya biasa memanggil: Men). Situasi seperti sekarang perbanyaklah doa. Saya memberi istilah: "doa menyalip di terowongan".
Zaman sekarang. Terlebih jelang Pilpres banyak orang ribut. Gaduh atau kisruh. Tentu saja soal politik. Nah, disaat seperti itu, cepat-cepatlah kita berdoa. Untuk diri sendiri dan keluarga. Pada saat mereka kisruh ruang berdoa sedang kosong. Kita masuk. Menyalip di terowongan.
Dahulu, semasa kecil. Ada permainan. Dua anak saling berhadapan. Masing-masing telapak tangan dipertemukan, membentuk semacam terowongan. Anak-anak lainnya berbaris. Berjalan melewati dua tangan tadi. Seolah-olah menerobos terowongan. Mereka lantas bernyanyi riang. Begini syairnya:
Sapu tangan dikibaskan.
Terbuat dari kain.
Bagusnya bukan main.
Siapa yang belum punya harus mengejar saya...."
Terbuat dari kain.
Bagusnya bukan main.
Siapa yang belum punya harus mengejar saya...."
Pada saat berakhirnya lagu tersebut, dua anak yang membentangkan tangan tadi menangkap peserta barisan. Suka-suka dia, hendak menangkap siapa. Yang terkena, giliran dia menjadi gawangnya.
Saya mengibaratkan dua anak yang mengangkat tangan itu sebagai kelompok "pembagi rezeki". Sementara itu barisan anak yang lewat merupakan "pengumpan doa". Doa yang menyalip atau lewat di terowongan, kapan saja bisa tertangkap. Alias terkabulkan.
Iblis pun tertawa
Mendekati hari H, seperti semua tahu terjadi perang kata. Perang data yang -Masya Allah disertai cacian. Saling menyerang. Bertubi-tubi. Bertiup seperti angin kencang. Pesan antar WA, twitter, Facebook, semakin seru. Media sosial berkicau tiada henti. Pilihannya. Jagoannya. Kandidatnya. Bukan hanya harus menang. Tapi wajib menang.
Para pendukung Capres dan Cawapres sibuk. Mentalitas mereka tak ubahnya seperti sebuah mesin. Tak henti-hentinya memproduksi kebohongan. Setiap saat menjadi amunisi perang. Oper-operan dari gadget satu pindah ke gadget lain. Tak ada tersirat sedikit tentang dosa.
Penanggung jawab Majalah "Basis" Yogyakarta, Sindhunata, menulis bohong memang mudah muncul, apalagi dalam situasi politik yang kacau. Bohong sudah menjadi normalitasnya. Bahkan, tulis Romo Sindhu, tak seorang pun menganggap politik bisa bertanggung jawab terhadap kebenaran.
Maklum politik bukan untuk mengungkap kenyataan. Tetapi untuk mengubah kenyataan. Untuk itu tak ada yang efisien selain kebohongan. Tak heran, meski diliputi keraguan, pemilih tetap menganggap politikus panutannya sebagai kesungguhannya. Sementara si politikus pantang menyerah memperjuangkan agenda kebohongan.
Kalau ada jargon, kita beda pilihan namun tetap bersaudara, hanya basa-basi. Tidak lebih tidak kurang, sekadar manis di bibir. Yang semula netral, akhirnya batal. Yang tadinya non partisan, ujung-ujungnya ikutan. Dugaan saya tak meleset. Persis seperti apa yang pernah sampaikan kepada teman muda saya.
Ada yang megusik saya. "Mas Jurnalis, kapan menulis Pilpres?" Jawaban
saya berbelok ke lain topik. Kalau pun berkomentar, ala kadarnya. Terus
terang, saya lebih cenderung menulis kutipan. Sumbernya jelas. Paling
tidak, menurut saya, dapat menyuguhkan suasana baru.
Salah satu wartawan senior, menulis di Grup WA: "Ada orang memilih karena ikut bosnya. Ikut istri atau suaminya. Ikut kelompoknya. Ikut jemaahnya. Dan, ikut iblis pun ya boleh2 aja..."
Biasanya saya lewati. Tetapi kali ini saya cermati. Saya sangat tertarik. Karena menyebut iblis. Saya teringat dialog dengan Nurman. Setan atau iblis sudah ketawa-ketiwi. Misinya, memecah umat, ada di depan mata. Atau malah sudah menembus gawang. Sudah kemana-mana.
Nur Rahmaan Hasyim, yang pada tanggal 30 April 2019 genap berusia 31 tahun, semoga Anda masih menyimpan WA kita. Tiap kali ada orang marah dan saling memaki, sebisa-bisanya kita meminta kekuatan, agar tidak larut.
Mumpung orang-orang sibuk menebar hoaks. Selagi mereka berkutat dalam kebohongan. Kita gunakan ruang kosong untuk berdoa. Selekas mungkin kita berdoa. Meminta segala kebaikan. Buat saya. Buat keluarga. Juga untuk Nusa Bangsa. Dan agama...
Doa menyalip di terowongan. Semoga dapat memetik "buah" dari Pilpres. Doa saya haturkan. Allah Maha Tahu.
Blogger Comment
Facebook Comment