Sukarno dan Islam
(Foto: Arifin BH)
|
Harian Republika edisi Selasa 11 Ramadhan 1438 H atau bertepatan dengan tanggal 6 Juni 2017 menurunkan tulisan “Sukarno dan Islam.” Sangat menarik karena artikel itu ditulis dalam perspektif khusus hingga menempati delapan halaman.
Edisi “Sukarno dan Islam” secara kebetulan hadir pada saat umat Islam tengah menjalani ibadah puasa Ramadhan 1438 H. Artikel ini menjadi semacam persembahan untuk masyarakat, yang ingin melihat sejarah tentang eratnya hubungan Islam dengan nasionalisme.
Nilai-nilai terkandung dalam Pancasila adalah juga nilai-nilai Islam. Sila demi sila dalam Pancasila merupakan bagian penting dalam ajaran Islam. Bung Karno menjadi salah satu cermin untuk melihat lebih jauh hubungan Islam dan nasionalisme pada sejarah perjalanan Indonesia. Ini juga menjadi bagian ikhtiar menguatkan persatuan dan kerukunan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ir. Sukarno presiden pertama Republik Indonesia sekaligus salah satu pendiri bangsa terbilang sangat melegenda. Hingga sekarang Indonesia serasa belum memiliki tokoh sekaliber Bung Karno. Pidatonya garang, selalu memikat dan menakutkan dunia. Orasinya lantang menggerakkan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Secara pribadi ada dua hal dalam catatan ingatan saya, tentang Bung Karno.
Ingatan pertama, tahun 1982 sewaktu masih awal meniti karir menjadi jurnalis, sebagai wartawan Harian Pos Kota Jakarta meliput acara peringatan (haul) wafatnya Bung Karno di kota Blitar, Jawa Timur.
Haul ke 12 ini baru pertama kalinya diadakan untuk umum. Sejak Bung Karno wafat tanggal 21 Juni 1970, biasanya cukup diperingati oleh kalangan keluarga dekat saja. Belum pernah dihadiri khalayak ramai. Media Jakarta melihatnya sangat istimewa, kalau enggan disebut peristiwa besar.
Kepadatan orang terasa sejak pagi hingga malam, terutama di Jalan Sultan Agung, kediaman Bu Wardojo, kakak kandung Proklamator RI. Gelombang massa juga mengular di Bendogrit, lokasi pemakaman Bung Karno.
Sebagai wartawan pemula, mendapat tugas liputan ini senangnya bukan kepalang. Salah satu jepretan kamera yang tersimpan rapi sampai sekarang kehadiran Ratna Sari Dewi, salah seorang istri Bung Karno. Bahkan foto wanita kelahiran Jepang ini masih dicetak menggunakan kertas hitam putih.
Edisi “Sukarno dan Islam” secara kebetulan hadir pada saat umat Islam tengah menjalani ibadah puasa Ramadhan 1438 H. Artikel ini menjadi semacam persembahan untuk masyarakat, yang ingin melihat sejarah tentang eratnya hubungan Islam dengan nasionalisme.
Nilai-nilai terkandung dalam Pancasila adalah juga nilai-nilai Islam. Sila demi sila dalam Pancasila merupakan bagian penting dalam ajaran Islam. Bung Karno menjadi salah satu cermin untuk melihat lebih jauh hubungan Islam dan nasionalisme pada sejarah perjalanan Indonesia. Ini juga menjadi bagian ikhtiar menguatkan persatuan dan kerukunan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ir. Sukarno presiden pertama Republik Indonesia sekaligus salah satu pendiri bangsa terbilang sangat melegenda. Hingga sekarang Indonesia serasa belum memiliki tokoh sekaliber Bung Karno. Pidatonya garang, selalu memikat dan menakutkan dunia. Orasinya lantang menggerakkan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan.
Secara pribadi ada dua hal dalam catatan ingatan saya, tentang Bung Karno.
Ingatan pertama, tahun 1982 sewaktu masih awal meniti karir menjadi jurnalis, sebagai wartawan Harian Pos Kota Jakarta meliput acara peringatan (haul) wafatnya Bung Karno di kota Blitar, Jawa Timur.
Haul ke 12 ini baru pertama kalinya diadakan untuk umum. Sejak Bung Karno wafat tanggal 21 Juni 1970, biasanya cukup diperingati oleh kalangan keluarga dekat saja. Belum pernah dihadiri khalayak ramai. Media Jakarta melihatnya sangat istimewa, kalau enggan disebut peristiwa besar.
Kepadatan orang terasa sejak pagi hingga malam, terutama di Jalan Sultan Agung, kediaman Bu Wardojo, kakak kandung Proklamator RI. Gelombang massa juga mengular di Bendogrit, lokasi pemakaman Bung Karno.
Sebagai wartawan pemula, mendapat tugas liputan ini senangnya bukan kepalang. Salah satu jepretan kamera yang tersimpan rapi sampai sekarang kehadiran Ratna Sari Dewi, salah seorang istri Bung Karno. Bahkan foto wanita kelahiran Jepang ini masih dicetak menggunakan kertas hitam putih.
Ratna Sari Dewi di atas kertas foto hitam-putih
(Arifin BH)
|
Ingatan kedua, saya menghadiri seminar “Pelurusan Sejarah Tempat Kelahiran Bung Karno” di Balai Pemuda Surabaya, 28 Agustus 2010. Dr. Ir. Yuke Ardhiati, pengajar Magister Desain Universitas Trisakti Jakarta mengungkap sisi lain terkait sang Proklamator Republik Indonesia. Salah satu paparannya menggulirkan hasil temuan baru, ternyata Sukarno lahir di Surabaya. Bukan di Blitar sebagaimana yang tertuang dalam buku pelajaran sejarah di sekolah.
Meraih Takdirnya
Tanggal 6 Juni 1901 di sebuah rumah sekitar Pasarbesar Surabaya, seorang orok lahir menatap dunia. Ia diberi nama Koesno Sosro Sukarno. Sang bapak, Raden Soekemi Sosrodihardjo, bahkan tak mampu memanggil dukun beranak. Di depan rumah mereka, ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai yang berasal dari Bali, memangku bayi Sukarno seraya menghadap ke timur. Ketika fajar merekah Sang Ibunda membayangkan, Sukarno menjadi seorang pemimpin besar,
"Engkau akan menjadi pemimpin rakyat, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing. Jangan lupakan itu, Nak, bahwa engkau ini Putra Sang Fajar."
Satu paparan menarik, adanya unsur-unsur yang memengaruhi untuk menggambarkan pengalaman dan kebiasaan Sukarno sejak usia muda, adalah timangan atau kekudangan yang dilakukan oleh ibundanya. Dalam setiap prosesi timangan atau kekudangan itulah sang ibu selalu membisikkan pujian dan harapan agar Sukarno kelak menjadi Karna atau pahlawan pembuka zaman kegelapan membentuk sikap mental pemimpin, percaya diri serta berani tampil menonjol.
“Belajarlah mulai dari timangan ibu, sampai liang lahat”. Barang kali pepatah ini pantas didengungkan kembali sebagai refleksi keluarga Indonesia. Timangan dan kudangan mutlak menjadi miliknya para ibu, sementara anak-anak bertindak secara sadar meraih takdirnya.
Sejarah tidak memilihnya secara kebetulan. Melalui ratusan buku biografi yang telah diterbitkan dalam berbagai bahasa menggambarkan sosok pemimpin fenomenal ini. Sukarno memang terlahir sebagai pemimpin, dan bertindak secara sadar untuk meraih takdirnya.
Ada yang bilang Juni adalah bulan Bung Karno. Tanggal 6 Juni 1901 dia dilahirkan. Proklamator dan Bapak Pancasila itu wafat hari Minggu, 21 Juni 1970. Kemudian sejak tahun 2016 masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni.
0 comments :
Posting Komentar